Tadarus
Cinta Buya Pujangga
Tadarus Cinta Buya Pujangga (TCBP)
adalah Novel tentang kisah hidup sosok karismatis Prof. Dr. Haji Abdul Malik
Karim Amrullah (1908 – 1981) yang populer dengan sebutan Buya Hamka. Ayahnya
pendiri Madrasah Thawalib di Padangpanjang bernama Haji Abdul Karim bin
Amrullah yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Ibunya bernama Siti Shaffiah
tinggal di Deli. Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara adiknya
bernama Abdul Kudus Karim posisinya persis di bawah Malik, di bawahnya lagi ada
Abdul Mukti Karim dan si bungsu bernama Asma Karim. Dalam novel ini di ceritakan
Hamka dikenal sebagai seorang ulama besar, pujangga, pejuang
kemerdekaan dan banyak predikat lain semasa hidupnya.
Novel TCBP ini dibuka dengan cerita
tentang meninggalnya Proklamator flamboyan Ir.Soekarno tahun 1970 dalam usia 69
tahun. Presiden Soeharto menugasi asisten pribadinya yaitu Suryo, untuk
menjemput Buya Hamka agar menjadi Imam sholat jenazah Bung Karno, begitu juga
Kafrawi yang ditugasi oleh Pak Dachlan, Buya berpikir sebentar, Mengapa harus
dia?, sementara banyak ulama lain yang bisa menjadi Imam. Buya pun berangkat
bersama Zaky anaknya sebelum berangkat Siti Raham istrinya Buya menyodorkan
segelas air minum pada Buya , Buya pun berangkat dan Zaky mencium tangan ibunya
lalu bergegas mengikuti langkah ayahnya
yang akan pergi ke Wisma Yaso ( Rumah duka, sekarang menjadi Museum Satria
Mandala).
Sesampainya disana , orang – orang
menatap Buya dengan berbagai macam pikiran . Buya Hamka yang pernah
dipenjarakan oleh Bung Karno sendiri selama 30 purnama, karena komentar – komentar tajam yang dilontarkan
terhadap PKI , Partai yang saat itu berbulan madu dengan sang proklamator yang
tengah gandrung dengan ide muluk mengawinkan NASAKOM ( Nasionalisme , Agama,
dan Komunisme ). Kini melihat Bung Karno tidak berdaya lagi namun Hamka malah mendoakan
sambil mengangkat tangannya , warga terkesima melihat apa yang di lakukan Hamka
, dari kejadian tersebut mereka yang menyaksikan dapat mengambil pelajaran “Dendam tak boleh dilestarikan seberat
Zahrah pun, Betapa pun beratnya, Beta pun sulitnya”.
Tahun 1921 Malik yang hendak menjadi Joki
( pemacu kuda ) tapi tak jadi. Di usia
13 tahun Malik mengikuti pertandingan pacuan kuda yang diadakan di Payakumbuh tapi
tanpa diketahui penonton salah satu penunggang kuda melemparkan semacam sebuk
kedepan Cigin kudanya , sehingga Cigin pun melambat dan akhirnya mereka kalah .
Malik pun diomeli oleh tuan pemilik kuda. Malik pun memutuskan bahwa menjadi
Joki bukanlah pekerjaan yang cocok untuknya. Dia harus pulang kekampung , entah
ke Padangpanjang tempat ayahnya atau tempat neneknya di pinggiran Danau
Maninjau. Namun didalam hatinya Ia ingin berjumpa ibu kandungnya yang ada di
Tanah Deli yang mengikuti suami barunya. Hati Malik resah ternyata sulit
menjadi anak dari orang tua yang berpisah.
Dua hari kemudian Malik sudah menginjakkan
kaki di pinggiran Danau Maninjau. Kedatangan Malik disambut gembira oleh teman
– temannya dua orang anak yang bernama Mahmud dan Hasan dengan menyoraki nama
Malik , rupanya angin Danau Maninjau sudah membawa kabar bahwa Malik menjadi
Joki kuda di perantauannya, merekapun akhirnya berbincang – bincang tentang
pacu kuda yang di alami Malik. Setelah itu Malik pun pergi kerumah Andungnya (
Nenek ) yang ada di Tanah Sirah. Saat Ia ingin melangkah kedalam rumahnya ,
Adjah (adik ibunya) menegur Malik , Adjahnya baru pulang dari Pakan Araba’a (
Pekan Hari Rabu / Pasar Rabu). Sambil menunggu Andungnya dan Asma yang berada
di Pasar Adjahpun menawarkan makanan
Lemang dan Panyaram (Kue dari beras
ketan dicampur gula anau) yang di bawanya dari Pasar. Tak lama kemudian Malik
tertidur di kursi , Adjah menyuruhnya pindah tapi Malik malah tidur kelantai. Saat
Ia tertidur pulas Andung dan Asma datang dari Pasar memebawa belanjaan,
seketika Malik spontan terbangun sambil memperaktekkan kuda – kuda karena
terkejut akibat belanjaan yang di bawa Asma terjatuh ke lantai. Malik melihat
Andung langsung Ia hampiri dan mencium tangannya dengan sepenuh hati.
Malik teringat Angkunya (Kakek) ,
ternyata Angkunya berada di Muara sedang memancing ikan, itulah kebiasaan Kakeknya.
Awalnya Malik hanya ingin tahu bagaimana caranya memancing ikan sehebat Kakeknya,
namun terik panas membuat rasanya ingin cepat pulang. Angkunya pun menawarkan
cerita rakyat pada cucunya , enggan rasanya menolak tapi, setelah mendengarkan
cerita rakyat itu . Malik pun ketagihan, beberapa kisah yang diceritakan
kakeknya seperti Malin Deman, Tupai
Jenjang dan Murai Randin.
Berbeda dengan Ayahnya saat belum berpisah
dengan Ibu Malik , yang setiap kali berada di Surau Muara Pauh milik Ayahnya
untuk mengajar. Konon kata Ayahnya ketika Ayahnya di lahirkan pada 17 Safar
1296 (17 Februari 1879) orang yang paling gembira ialah Haji Abdussamad, Bapak
dari nenek Malik yang akrab di panggil dengan Haji Jala karena sering menjala
di perairan Danau Maninjau. Haji Jala pun mendirikan Surau Muara Pauh sebagai
tempat belajar dimana Haji Rasul sendiri yang mengajarkan kelak sudah besar. Dengan
perbedaan Ayah dan Angkunya itu ketika Malik pulang memancing dan Ayahnya sudah
di rumah, Ibunya tidak segan mencubit dan memukulnya bukan karena Ibunya kejam
tapi supaya tidak Ayahnya yang menghukumnya, Ayahnya yang berharap Malik yang
akan menggantikan tugas Ayahnya nanti tidak mengecewakan Ayahnya.
Malik pun tumbuh menjadi seorang remaja
yang tampan. Sudah mulai menulis surat cinta kepada gadis – gadis diantaranya
Zuraida, Halimah dan Ros. Semua surat Malik mendapat jawaban dari ketiga gadis
itu yang hatinya telah meleleh dengan kata – kata dalam surat yang dibuat
Malik. Tujuan utama Malik sebenarnya hanya ingin melatih kemampuannya dalam
merangkai kata – kata yang indah. Kadang membuat Ia tersenyum sendiri, dan di pergoki
oleh Ayahnya yang melihat Malik sedang senyum – senyum sendiri, Ayahnya pun
menarik kertas yang Malik tulis itu perlahan dibaca sampai selesai dan langsung
di robek Ayahnya. Ayahnya tak banyak berkata, “ Mungkin adikmu kelaklah yang menggantikan pekerjaan Angku dan Ayahmu
sebagai ulama pewaris Nabi” begitulah yang di katakan Ayahnya dengan suara
pasrah. Malik merasa terpukul bukan main dengan kata yang di lontarkan Ayahnya,
sambil mengumpulkan sobekan kertas tak sadar air matanya menetes perasaannya jadi
serba tak menentu.
Malik suka membaca koleksi Bibliotek
Zainaro, tak hanya Buku-buku dan Roman tetapi juga koran seperti Tjahaya Soematra, Sinar Soematra dan Hindia Baroe. Ternyata pemilik dan
pemimpin ketiga koran itu adalah Ajun Sabirin. Malik sangat kagum padanya,
karena kagumnya dia mengirim surat pada
Ajun. Salah satu isi surat mereka ialah Ajun memberi saran pada Malik agar
mencari pengalaman kalau bisa sampai ke pulau Jawa. Malikpun bertekat pergi
tanpa izin pada Ayahnya karena dia pasti tak diberi izin. Sampai di Bengkulu uangnya
tidak cukup untuk melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa, Ia pun turun dari Kapal
dan beristirahat di Surau karena badannya panas. Dua hari sudah Ia beristirahat
dan ingin melanjutkan perjalanannya, diperjalanan Ia berjumpa sepasang suami
istri yang berdagang hendak pulang menggunakan gerobak, Malik pun ikut bersama
mereka samapai di Ketahun Ia pun mencari Surau lagi untuk beristirahat. Subuh nya
Ia berangkat lagi ke mulut sungai dan bertemu pedayung sampan yang kenal pada
Angku Rasjad kerabat Ibu yang ingin di temui Malik untuk meminta uang tambahan.
Diperjalanan Malik tidur dengan badannya yang semakin panas samapai malam hari
Ia baru sadarkan diri yang sudah berada di tempat Angku Rasjad. Ia beristirahat
selama dua bulan karena terjangkit cacar dan malaria tertiana. Niat atas saran
Ajun Sabirin itu di batalaknnya. Ia kembali ke Padangpanjang dengan badan
kudisan karena gatal – gatal akibat terkena cipratan air sungai saat di sampan.
Sebulan Ia sudah di Padangpanjang dengan kudis yang masih membekas yang
menghilangkan ketampanannya membuat merasa jijik bahkan Ros yang pernah ia
kirim surat cinta merasa tak mengenal Malik. Malik hanya bisa pasrah dengan
hati yang berdarah.
Tahun 1924 diusia Malik 16 tahun
menyamapaikan niatnya untuk pergi ke Jawa dengan alasan ingin menambah ilmu dan
pengalaman. Ayahnya pun mengijinkan. Rencana awal ingin ke pekalongan tempat
kakak ipar Malik, Haji Sutan Mansyur. Namun sampai di Yogjakarta Malik bertemu
Pamannya Haji Ja’far Amrullah, disana Malik menjadi anggota Serekat Islam yang
di pimpin H.O.S. Tjokrominoto dan Malik berguru padanya selama hampir setahun.
Awal tahun 1925 Malik melanjutkan niat awalnya belajar dengan abang iparnya di
Pekalongan.
Malik mendalami ilmu agamanya di
Pekalongan banyak yang Ia dapatkan. Namun Malik harus pulang lagi ketika
mendengar Ayahnya menjadi bulan-bulanan karena dianggap imprealis saat
mendirikan Muhammadiyah di Padangpanjang. Disana Malik menulis majalah Tablig Muhammadiyah untuk menjelaskan
tentang Muhammadiyah sebenarnya melalui tulisannya. Ditambah Malik mulai
berpidato dan berdakwah. Pujian bagi yang menyukainya , kritik bagi yang
membencinya. Malik mencalonkan diri menjadi guru tapi di tolak karena Malik
tidak tamat Madrasah Thawalib, dan tidak punya tanda kelulusan dari sekolah
manapun. Malik merasa kecewa Ia pun merantau ke Pematang Siantar bertemu kawan
Persilatannya Isa namanya. Malik mencari pekerjaan disana di bantu temannya.
Untuk mendapatkan uang berangkat haji walaupun hanya sekali jalan saja karena
Malik berencana tinggal di Tanah Suci sekitar sepuluh tahun atau lebih untuk
menimba ilmu dan menambah pengalaman.
Tahun 1927 awal bulan Februari Malik
sudah berangkat dengan uang bantuan temannya dan hasil kerjanya. Malik
berangkat menggunakan kapal Karimata milik perusahaan Stoomvart Maatschappij Nederland. Di Kapal Malik menjadi imam
sholat bagi calon jemaah haji. Kecuali pada tanggal 17 Februari di ulang
tahunnya , Malik tak mampu menjadi Imam. Ia sedih karena tak berjumpa orang tua
nya saat ulang tahunnya. Datanglah seorang laki – laki tua bernama Sukarto,
menyampaikan amanah dari Mang Engkos dan Cue Amah dari Cianjur, bahwa mereka
sangat senang Malik mau menjadi menantunya, anaknya Kulsum usia 17 tahun lagi
manis – manisnya kata Sukarta. Tapi Malik bukannya tidak mau menerimanya tapi
Malik belum siap membangun rumah tangga. Sampai di Tanah suci beberapa hari
Malik mendengar kabar bahwa Kulsum sudah menikah dengan laki – laki lain. Di
Arafah Malik sakit mengalir darah dari hidungnya sempat membuat dia pingsan
bahkan hampir meninggal, tapi Tuhan masih menyelamatkannya. Selesai ibadah
haji, Malik berjumpa Haji Agus Salim yang mengikuti Kongres Islam sedunia. Dan Malik
menawarkan diri untuk membantu bantu
Haji Agus Salim selama di Tanah Suci, niat dia untuk tinggal di Tanah Suci selama
beberapa tahun tak jadi setelah di nasehati Haji Agus Salim, akhirnya Ia pulang
ke tanah air bersama Haji Agus Salim. Sampai disana Ia menulis kisahnya di
harian Pelita Andalas milik Tuan
Junus Is. Atas saran Barakan temannya sewaktu di kapal Karimata. Yang pada saat
itu untuk penulis awal dibayar dengan semangkuk Kopi Susu. Tak beberapa lama Seruan Islam mengirim surat agar Malik
mau menulis di majalahnya. Kini tulisannya sudah di-empat terbitan ( Pelita Andalas, Seruan Islam, Suara
Muhammadiyah, dan Bintang Islam ).
Dengan nama pena nya H.A.M.K.A akronim dari namanya. Dengan tulisan –
tulisannya Malik di ajak menjadi guru oleh Abu Bakar di Kebon Badjalinggai
terletak diantara Tebingtinggi dan Pematang Siantar.
Beberapa waktu kemudian Malik pulang
kerumah dan meminta maaf pada Ayahnya yang tidak memeberi kabar beberapa bulan.
Malik membuat Roman pertamanya yaitu Sabariyah
tahun Oktober 1928 dan terjual laris . Malik pun menambah karya lagi dua roman
yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah
dan Tenggelamnya Kapal Vander Wijck
yang terbit tahun 1938. Malik pun dijodohkan dengan Siti Raham pada tanggal 5
April 1929 mereka menikah. Tahun 1932 Malik sudah dipanggil dengan nama penanya
itu yaitu Hamka. Siti Raham pun melahirkan anak pertamanya Hisyam , dan anak
keduanya Zaky. Namun mereka harus menerima kesedihan tahun 1934 Hisyam
meninggal di uisianya 4 tahun. Tahun 1935 kesedihan di gantikan dengan anaknya
yang ke-tiga Rusjdi tepatnya tanggal 7 September , tahun 1937 lahir anaknya
yang ke-empat diberi nama Fachri.
Akhir novel TCBP menceritakan awal
persahabatan Hamka dengan Ir. Soekarno. Setahun kemudian saat usia Hamka 30
tahun mengalami dua peristiwa besar, yang pertama, kedua romannya sudah terbit.
Peristiwa yang kedua dirinya di perkenalkan oleh Karim Oei dengan tokoh
karismatik yaitu Ir. Soekarno.
~
~ ~ ~ ~ S E L E S A I ~ ~ ~ ~ ~